Keluarga |
Saya dapatkan dari sini.
Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam kemudian mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya, maka suaminyapun menegerjakan shalat. Jika suaminya menolak bangun, ia percikkan air pada wajahnya.(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)Hadits ini bisa dipelajari dari berbagai sudut. Dari sudut kehidupan rumah tangga, jelas nampak betapa sebuah keluarga harus dibangun atas dasar keimanan yang kuat. Hanya keluarga yang imannya kuat saja yang mampu melaksanakan hadits ini.
Tonggak utama keluarga adalah suami istri. Kedua unsur ini harus memiliki bobot keimanan yang sama, sehingga ada keharmonisan dalam mengayuh sebuah kendaraan yang mesti melalui berbagai belokan dan tanjakan. Pertama yang harus sama adalah imannya, baru kemudian yang lainnya.
Tentu saja hal ini harus dimulai dari sejak pemilihan calon suami atau istri. Yang harus sekufu (seimbang) pertama kali adalah visi, missi, cita-cita, ideologi, yang terangkum dalam kualitas imannya. Soal tingkat pendidikan, harta kekayaan, status sosial, latar belakang, kecantikan dan ketampanan, sekalipun tetap patut dijadikan pertimbangan namun bukan yang nomor satu.
Memang benar bahwa dalam soal ibadah masing-masing individu menanggung beban dan pahala atau siksa yang sama. Ibadahnya suami tidak bisa ditransfer untuk istrinya, demikian juga sebaliknya. Apa yang dikerjakan oleh suami adalah untuk suami, sedang yang diperbuat oleh istri -baik atau buruk- adalah untuk istri. Dalam kaitan ini suami istri punya kedudukan yang sama. Allah berfirman:
"Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)
Lewat hadits di atas, Islam juga menolak gagasan bahwa surga dan nerakanya istri itu tergantung pada suaminya. Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa seseorang hanya menanggung apa yang diperbuatnya. Di luar itu adalah tanggungan orang lain.
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah: 286)Bahkan suami istri tidak bisa saling menolong pada hari perhitungan. Demikian juga anak tidak bisa menolong orang tuanya atau sebaliknya, apalagi harta benda. Allah menggambarkan dalam surah Asy-Syu'ara: 88, bahwa pada hari kiamat itu tidak lagi bermanfaat harta maupun anak-anak. Masing-masing orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ayah, ibu, anak adalah hubungan fungsional, yang masing-masing akan mempertanggungjawabkan fungsinya sendiri-sendiri kelak di hadapan Allah.
Kesempatan untuk saling menolong itu justru ada dan terbuka luas semasa hidup di dunia. Malahan pernikahan, hubungan suami istri dan hubungan kekeluargaan diadakan untuk tujuan saling menolong ini. Suami menolong istri, istri menolong suami, orang tua menolong anak, dan sebaliknya, anak menolong orang tua. Di sini terjadi interaksi, bahkan interdependensi.
Tolong-menolong itu tidak sebatas pada masalah-masalah duniawi, tapi juga pada masalah ukhrawi. Dalam hal ibadah, suami istri perlu saling membantu. Jika istri dalam keadaan lalai, maka suami yang mengingatkan. Sebaliknya, jika suami yang lalai, maka istri berkewajiban untuk meluruskan. Ada mekanisme taushiyah yang hidup sepanjang hari. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." (QS. At-Tahrim: 6)
Salah satu aspek penjagaan yang tangguh adalah terbangunnya lembaga taushiyah, di mana suami bisa mengingatkan istri dan istri bisa menegur suami. Demikian juga orang tua bisa membimbing anak, dan anak bisa berdialog dengan orang tua.
Lembaga ini mutlak adanya, sebab selamanya manusia tidak pernah ma'shum. Artinya, peluang untuk berbuat maksiat selalu saja ada. Lembaga taushiyah harus terus-menerus dibangun dan diperjuangkan oleh semua unsur rumah tangga. Dengan demikian, teguran ringan sampai teguran yang keras sekalipun tetap bisa diterima. Bahkan menjadi budaya. Lembaga ini dihormati dan dijunjung tinggi, sehingga semua unsur yang ada -ayah, ibu, anak- taat asas. Tidak ada yang membangkang atau tersinggung.
Hadits di atas menggambarkan sebuah keluarga yang di dalamnya telah hidup lembaga taushiyah, sehingga sampai pada ibadah sunnah atau ibadah tambahan (nafilah), mereka tetap saling mengingatkan. Jika terhadap yang sunnah saja mereka bisa saling mengingatkan, apalagi terhadap yang wajib. Jika untuk membangunkan shalat malam saja mereka bisa sampai memercikkan air ke wajahnya, apalagi untuk membangunkan shalat shubuh. Tanggung jawab akhirat ternyata harus dipikul bersama oleh semua unsur keluarga. Meskipun suami menjadi kepala rumah tangga, tapi istri tidak boleh pasif. Kontrol istri tetap harus jalan. Semua harus aktif partisipatif dalam membangun kehidupan dunia dan akhirat.
Keluarga ideal selalu membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Sepertiga malam pertama digunakan untuk bercengkerama dengan keluarga, sepertiga malam kedua dipakai untuk istirahat, tidur, sedang sepertiga malam terakhir dimanfaatkan untuk menyambung hubungan dengan pencipta-Nya, shalat malam.
Pembagian ini sangat adil, sebab semua kebutuhan bisa terpenuhi. Hak keluarga bisa diberikan, hak pribadi jalan, dan hak Allah juga terlaksanakan. Inilah sebuah model kehidupan yang harmonis dan berkeadilan.
Nah jadi dapat kita ketahui bahwa dalam keluarga yang baik semua hak dan kewajiban di anggota keluarga mempunyai bagiannya masing-masing.
Teman jangan lupa yah , mencantumkan link gunadarma . Skarang kan sudah mulai softskill, dan sebagai salah satu mahasiswa gunadarma , ayoo dong masukkin link gunadarmanya.
BalasHapusCoba cek di studentsitenya yah.
http://www.studentsite.gunadarma.ac.id
@andrew: oke bro, ane udj link web Gunadarma dr dahulu hahaha
BalasHapus